SEPUTAR KUDUS - Pengukir mengerjakan joglo di bengkel kayu milik Prastowo, di Desa Prambatan Lor, Kecamatan Kaliwungu, Kudus. Joglo usang tersebut direstorasi sehingga bernilai tinggi. |
SEPUTAR KUDUS - Sejak dulu Kudus dikenal dengan rumah adatnya
yang khas dengan joglo bermotif ukir Sungging yang halus dan detil. Tak jarang para kolektor memburunya dengan harga yang sangat tinggi.
Namun karena rata-rata benda antik tersebut berumur puluhan hingga ratusan
tahun, terkadang benda dengan empat tiang sebagai penyangga tersebut terlihat
usang dan tampak tak bernilai jika sang pemilik tak merawatnya dengan baik.
Salah satu perajin
yang jeli melihat peluang usaha untuk
mengubah joglo usang menjadi terlihat bersih tanpa menghilangkan citra antik
dan kuno ini adalah Prastowo. Pria 59 tahun yang membuka bengkel kayu di Desa
Prambatan Lor RT 7 RW 1 ini telah menekuni usaha tersebut puluhan tahun. “Dulu awalnya
hanya menjadi sopir pengangkut kayu
ukiran. Karena usia sudah menua dan punya pengtahuan tentang ukir, maka saya
memberanikan diri untuk memulai usaha ini,” tuturnya.
Joglo khas Kudus, menurut Prastowo
mempunyai kelebihan jika dibanding dengan joglo-joglo dari daerah lain. Di antaranya
jenis ukirannya yang lebih halus dan detil, serta mempunyai historisitas yang
panjang. “Ukiran joglo Kudus disebut sungging karena awalnya motif ukiran
tersebut dibuat pertama kali oleh Kyai Telingsing, anak dari Sunan Sungging
yang memperistri perempuan dari Tiongkok,” ungkapnya.
Menurut Prastowo, joglo usang ia dapatkan
dari masyarakat Kudus yang ingin memperbarui rumahnya dengan model yang lebih
modern. Satu joglo ia harus merogoh kocek Rp 40 juta – Rp 50 juta. Joglo-joglo
yang Prastowo buat dijual dengan harga berfariasi. Joglo dengan ukuran tinggi 4
meter dengan luas sama sisi 2,5 meter ia
jual Rp 50 juta, hingga yang paling mahal dihargainya Rp 80 juta perbuah.
“Tergantung umur kayu dan detil ukirannya mas” ujar Prastowo saat ditemui dibengkel
kayu yang berdekatan langsung dengan tempat tinggalnya.
Proses tersebut ia dibantu tujuh pekerja, yakni tiga pengukir dan empat
tukang kayu. Pengukir ia beri upah dengan sistim borong sebesar Rp 20 ribu/meter.
Sedangkan tukang kayu ia beri upah
dengan sistim harian sebesar Rp 40 ribu/hari.
Menurut Kustur (32), mandor di bengkel Prastowo yang bekerja dari pukul 08.00
hingga pukul 16.00, mengungkapkan untuk satu joglo rata-rata memakan waktu satu
hingga satu setengah bulan. “Lama
pengerjaannya tergantung joglo aslinya. Jika joglo yang masih utuh bentuknya
kami bisa mengerjakannya lebih singkat dibanding joglo yang permukaannya
keropos, karena kami harus menggantinya dengan yang baru” ungkapnya.
Prastowo mengungkapkan bahwa hasil karyanya telah terjual ke berbagai
daerah di Indonesia, diantanya Solo, Jogja, Bandung, Jakarta dan Bali. “Produk
ini kami pasarkan dari mulut kemulut. Umumnya pembeli datang ke rumah dan
melihat langsung barang yang kami buat” ujarnya.
Sebetulnya produk Prastowo juga di pamerkan melalui Facebook oleh
anaknya, Arif Suryanto (30). Namun ia mengatakan usaha anaknya tersebut sejauh ini belum ada hasilnya.
“Meskipun ada yang sampai menawar di Facebook, tapi belum
pernah ada yang jadi. Kalau saya sih lebih suka pembeli
datang ke sini, melihat dan kemudian membayarnya” uangkapnya sambil tertawa.
Dibalik
kepiawaiannya dalam menyulap joglo usang tersebut, sebenarnya Prastowo menyayangkan
joglo khas Kudus yang semakin hari semakin menyusut jumlahnya. Menurutnya
warisan nenek moyang tersebut harus tetap dipertahankan. Dengan alasan itulah
ia bertekad untuk tidak hanya memperbarui joglo yang telah usang, namun ia juga
akan memproduksi joglo khas Kudus dengan bahan baku yang baru. (Suwoko)