SEPUTARKUDUS.COM, KARANGROWO – Letak pedukuhan ini sekitar empat
kilometer dari Jalan Raya Kudus-Purwodadi, Kecamatan Undaan, Kudus. Rumah-rumah warga tampak seperti rumah perkampungan di Undaan pada umumnya. Dukuh Kaliyoso, nama perkampungan di Desa Karangrowo ini. Sebagian besar penduduknya merupakan warga Sedulur Sikep, penganut Samin Surosentiko di Kudus.
Di perdukuhan Kaliyoso terdapat satu bangunan rumah joglo cukup besar. Di bagian depan terdapat tanaman yang menghiasi beranda rumah tersebut. Rumah itu kediaman Wargono, sesepuh warga Kaliyoso yang ditokohkan Sedulur Sikep.
Kepada Seputarkudus.com, Wargono sudi berbagi cerita tentang kehidupan warga Sikep di kampungnya. Pria yang selalu mengenakan pakaian serba hitam dan dan ikat kepala itu mengatakan, erdapat sekitar 50 kepala keluarga (KK) yang tinggal di daerah yang disebutnya Bangun Sari.
"Jumlah 50 KK tersebut hasil pendataan awal pemerintahan Bupati Musthofa. Dulu saat awal Pak Musthofa menjabat (Bupati Kudus), kami dibuatkan KK secara gratis,” tutur Wargono menggunakan Bahasa Jawa.
Sedulur Sikep, katanya, bekerja sebagai petani. Sedulur Sikep tidak mengajarkan untuk berdagang. Itu karena menurutnya, banyak praktik ketidakjujuran dalam berdagang. Namun dia tidak melarang warga Sikep jika ada yang ingin berdagang.
“Nak dagang mengko lugune ilang. Nanging nak ono ape seng dagang ya gak opo-opo. Kan yo perlu ono sing ditukoni kanggo kebutuhan (Kalau berdagang nanti kejujurannya hilang. Namun jika ada yang ingin berdagang tidak apa-apa. Kan perlu ada tempat untuk membeli kebutuhan sehari-hari,” tuturnya.
Wargono (kiri) bersama istri di kediamannya, Dukuh Kaliyoso, Desa Karangrowo, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus. Foto: Imam Arwindra |
Di perdukuhan Kaliyoso terdapat satu bangunan rumah joglo cukup besar. Di bagian depan terdapat tanaman yang menghiasi beranda rumah tersebut. Rumah itu kediaman Wargono, sesepuh warga Kaliyoso yang ditokohkan Sedulur Sikep.
Kepada Seputarkudus.com, Wargono sudi berbagi cerita tentang kehidupan warga Sikep di kampungnya. Pria yang selalu mengenakan pakaian serba hitam dan dan ikat kepala itu mengatakan, erdapat sekitar 50 kepala keluarga (KK) yang tinggal di daerah yang disebutnya Bangun Sari.
"Jumlah 50 KK tersebut hasil pendataan awal pemerintahan Bupati Musthofa. Dulu saat awal Pak Musthofa menjabat (Bupati Kudus), kami dibuatkan KK secara gratis,” tutur Wargono menggunakan Bahasa Jawa.
Sedulur Sikep, katanya, bekerja sebagai petani. Sedulur Sikep tidak mengajarkan untuk berdagang. Itu karena menurutnya, banyak praktik ketidakjujuran dalam berdagang. Namun dia tidak melarang warga Sikep jika ada yang ingin berdagang.
“Nak dagang mengko lugune ilang. Nanging nak ono ape seng dagang ya gak opo-opo. Kan yo perlu ono sing ditukoni kanggo kebutuhan (Kalau berdagang nanti kejujurannya hilang. Namun jika ada yang ingin berdagang tidak apa-apa. Kan perlu ada tempat untuk membeli kebutuhan sehari-hari,” tuturnya.
Edy Supratno (kiri) saat berkunjung ke rumah sesepuh Sedulur Sikep. |
Sejarahwan Kudus Edy Supratno yang saat itu juga di kediaman Wargono, menjabarkan sejarah keberadaan warga Sedulur Sikep di Kaliyono. Dia menceritakan, sebelum Indonesia dijajah, terdapat kerajaan sebagai penguasa. Menurutnya, dalam sistem kerajaan saat itu, kepemilikan tanah hanya milik raja, dan rakyat harus menyetor upeti kepada raja.
“Namun ada dibeberapa daerah tertentu tidak dikenai pajak. Namanya daerah Perdikan,” tuturnya.
“Namun ada dibeberapa daerah tertentu tidak dikenai pajak. Namanya daerah Perdikan,” tuturnya.
Edy melanjutkan, kerajaan mempunyai pegawai seperti pemerintahan sekarang. Mereka tidak digaji, namun diberi kewenangan untuk mengolah tanah. Mereka tidak mengelola tanah tersebut, namun disewakan kepada penduduk desa. Para penyewa dan pengelola tanah itu disebut Sikep. “Jadi dalam sejarahnya, sikep memang petani,” jelasnya.
Setelah itu, kata Edy, munculah penjajah di Indonesia. Sistem politik berubah, termasuk status kepemilikan tanah. Orang Sikep jelas terusik hal itu, apalagi sejak berlakunya era tanam paksa dan harus membayar pajak kepada penjajah. “Mereka (Sikep) menolak membayar pajak. Tokoh Sikep saat itu Samin Surosentiko,” tuturnya.
Samin Surosentiko, jelas Edy, saat itu dikekang Belanda. Namun pengikutnya tak berkurang justru semakin bertambah karena senasip dan seperjuangan sebagai petani. Akhirnya, gerakan yang dimotori Samin Surosentiko meluas dari Blora menyebar ke Pati dan Kudus. Belanda kemudian membuang Samin Surosentiko ke Sumatra dan meninggal di sana.
“Banyaknya pengikut Samin karena secara mereka merasa senasib sebagai pengolah lahan di desa-desa. Nah, Pati dan Undaan (Kudus) adalah daerah pertanian mereka,” jelasnya.
“Banyaknya pengikut Samin karena secara mereka merasa senasib sebagai pengolah lahan di desa-desa. Nah, Pati dan Undaan (Kudus) adalah daerah pertanian mereka,” jelasnya.