SEPUTARKUDUS.COM, UMK – Ruang auditorium Universitas Muria Kudus (UMK) terlihat
gelap, Kamis (8/9/2016) malam. Saat sorot lampu merah mulai menyala, enam orang yang hanya
mengenakan celana sedengkul muncul. Mereka menampilkan gerakan silat
dengan bantuan properti yang terbuat dari kaca. Tarian tersebut ditampilkan dalam acara Pesona Silat Jawa-Minang yang dikoreograferi oleh Eko Supriyanto dan Ali Sukri.
Penari tampil dalam Pesona Silat Jawa-Minang di Auditorium UMK. Foto-foto: Imam Arwindra |
Menurut Eko Supritanto, koreografer silat Jawa, dua tarian
Silat Jawa dan Minang memiliki kesamaan dalam insisiasi gerak, namun berbeda
kultur dan generasi. Dia menjelaskan, dalam karyanya dia lebih ingin menelusuri
filosofi leluhurnya sebagai penguatan identitas. Karya yang dituangkan bernama Rajectory,
sebuat tarian kontemporer yang tidak bercerita. Menurutnya, dirinya menyuguhkan
pendekatan fisikal dalam membuat sebuah koreografi tari.
“Karya saya tidak bercerita. Saya ingin membuat karya seperti anak panah yang dilontarkan. Karya ini lebih ketahanan tubuh,” terang Eko dalam sebuah diskusi yang digelar usai pertunjukan tari tersebut.
“Karya saya tidak bercerita. Saya ingin membuat karya seperti anak panah yang dilontarkan. Karya ini lebih ketahanan tubuh,” terang Eko dalam sebuah diskusi yang digelar usai pertunjukan tari tersebut.
Eko yang mengaku memiliki dasar silat dari Budaya Indonesia Mataram
(Bima) Magelang menuturkan, sejak umur enam tahun dia sudah berlatih silat dan
tari. Menurutnya, perbedaan tari dan silat yakni pada rasa. Dalam melakukan
silat tidak menggunakan rasa, namun berbeda dengan tarian. “Jadi indahnya silat
adalah tari,” ungkap dia yang mempunyai Ekos Dance Company dan Yayasan Ekos Dance.
Sementara itu, Ali Sukri, melalui karyanya Tonggak Raso menampilkan pertunjukan silat beraliran Minangkabau. Pria asli Padang Panjang, Sumatara Barat, menuturkan, tari koreografi yang dibuatnya merupakan perpaduan dari tiga bentuk silat di Minangkabau yakni Silat Kumango, Silat Tuo dan Silat Ulu Ambek. “Tari Kontemporer Tonggak Raso ditampikan selama 50 menit dengan sembilan motif tarian,” tuturnya.
Pengajar di Institut Seni Indonesia Padang Panjang
(ISI-PP) menjelaskan, Tonggak Raso bermakna kekuatan tonggak dalam diri
manusia. Dia mengatakan, kekuatan pondasi dalam diri manusia untuk
pertahanan berbagai pengaruh dari luar merupakan hal yang penting.
“Untuk menampilkan tarian ini para penari berlatih selama delapan bulan. Setiap harinya mereka memakan waktu lima jam. Mereka mutah-mutah pokoknya, sampai mau mati,” tambahnya yang mengundang tawa penonton yang hadir.
Di Kudus, kegiatan pentas tersebut diadakan oleh Forum Apresiasi Sastra dan Kebudayaan Kudus (Fasbuk) yang didukung oleh Kementerian Pariwisata Republik Indonesia, Bakti Budaya Djarum Foundation serta berbagai forum seni di Indonesia. Menurut Adi Pardianto, perwakilan dari Djarum Foundation, pentas Tari Kontemporer Indonesia Pesona Silat Jawa-Minang ditampilkan di empat tempat. Di antaranya ditampiljan di ISI Padang, Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta, UMK dan di NuArt Sculpture Park Bandung.
Menurutnya, dengan kegiatan ini generasi muda akan
terinspirasi untuk mengembangkan potensinya di kancah international. Dia mengajak,
generasi muda untuk berani mengeksploitasi diri dengan kemampuan yang dimiliki. “Anak
muda harus paham tradisi, banyak membaca dan diskusi. Paling penting jangan
ragu-ragu,” ungkapnya.