SEPUTARKUDUS.COM, UMK – Enam
penari mengenakan celana selutut beraksi dalam pentas Tari Kontemporer Indonesia Pesona Silat Jawa Minang
di Auditorium Universitas Muria Kudus (UMK), Kamis (8/9/2016). Tubuh mereka tampak mengkilap saat sorot lampu menyala mengenai tubuh mereka. Dalam latihan, mereka berlatih hingga "muntah-muntah".
Sejumlah penari tampil dalam Pesona Silat Jawa Minang di Auditorium UMK. Foto: Imam Arwindra |
Pentas yang menggunakan latar warna hitam tersebut menampilkan
dua sesi tarian silat, yakni Silat Minang selanjutnya Silat Jawa. Ali Sukri, koreografer Silat Minang menuturkan, untuk mementaskan tari kontemporer
bertajuk Tonggak Raso, enam penarinya harus belajar selama lima jam setiap
hari. Total latihan delapan bulan.
“Untuk menampilkan tarian ini (Tonggak Raso) para penari berlatih selama delapan bulan. Setiap hari mereka berlatih lima jam. Pokoknya mereka 'muntah-muntah', sampai mau 'mati',” tambahnya yang mengundang tawa dan tepuk tangan penonton yang hadir.
Pria asal Padang Panjang, Sumatra Barat,
menjelaskan Tonggak Raso bermakna kekuatan pondasi dalam diri manusia untuk
tidak tergoyah dari berbagai pengaruh dari luar. Menurutnya, dalam tari
kontemporer yang dibawakan kolaborasi tiga silat dari Minangkabau, yakni Silat
Kumango, Silat Tuo dan Silat Ulu Ambek.
“Sebenarnya silek (silat) yang paling tua adalah Silek Tuo. Silat-silat yang muncul setelah Silek Tuo bisa dikatakan turunannya,” ungkap dia yang lahir di Pariaman, 28 Oktober 1978.
“Sebenarnya silek (silat) yang paling tua adalah Silek Tuo. Silat-silat yang muncul setelah Silek Tuo bisa dikatakan turunannya,” ungkap dia yang lahir di Pariaman, 28 Oktober 1978.
Dalam pentas roadshow
bersama Eko Supriyanto, menurutnya, Tari Kontemporer Silat Minang dan Jawa
yakni dua karya yang berbeda. Perbedaan tersebut juga terlihat dari kultur dan
generasi. Menurutnya dalam motif-motif gerakan yang dipakai, dia tidak
mematok seperti robot yang mati, melainkan hidup. Para penari diajak untuk
menafsirakan gerakan dan diskusi.
“Semua memang ditentukan. 15 menit gerakan ini dan seterusnya. Namun penari tetap diajak untuk menafsirkan dan diskusi. Gerakannya ada sembilan motif. Sembilan motif tersebut ada yang dipecah dan utuh. Urutannya motif, alur, bagian,” terang pengajar di Institut Seni Indonesia Padang Panjang (ISI-PP).
Baca juga: Meski Tak Bercerita, Tari Kontemporer Silat Jawa-Minang di UMK Tetap Suguhkan Pesona
“Semua memang ditentukan. 15 menit gerakan ini dan seterusnya. Namun penari tetap diajak untuk menafsirkan dan diskusi. Gerakannya ada sembilan motif. Sembilan motif tersebut ada yang dipecah dan utuh. Urutannya motif, alur, bagian,” terang pengajar di Institut Seni Indonesia Padang Panjang (ISI-PP).
Baca juga: Meski Tak Bercerita, Tari Kontemporer Silat Jawa-Minang di UMK Tetap Suguhkan Pesona
Eko Supriyanto yang menyuguhkan karya Tari Trajectory
menuturkan, tarian yang dia koreo tidak bercerita. Menurutnya, dia hanya
ingin mencitakan sebuah tarian dengan pendekatan fisikal dengan menelusuri
filosofi leluhurnya sebagai penguatan identitas. Dalam berlatih, timnnya
membutuhkan waktu enam bulan untuk menyelesaikan tari kontemporer silat Jawa.
“Berlatihnya biasanya hari Jumat, Sabtu, Minggu. Tempatnya biasanya di Kaliprogo,” tutur dia yang berlatih silat dan tari sejak umur enam tahun.
“Berlatihnya biasanya hari Jumat, Sabtu, Minggu. Tempatnya biasanya di Kaliprogo,” tutur dia yang berlatih silat dan tari sejak umur enam tahun.
Eko yang mempunya dasar silat dari Budaya Indonesia Mataram
(Bima) Magelang mengungkapkan, tarian kontemporer silat yang dia buat bukan
fokus pada jurusnya melainkan subtansinya. Menurutnya, Tarian kontemporer bukan
fokus pada bentuk melainkan sebuah gagasan.
“Perbedaan tari dan silat adalah rasa. Di silat tidak ada yang namanya rasa. Maka dari itu, indahnya silat adalah tari,” terang dia yang menyelesaikan magisternya di UCLA, Amerika Serikat dalam bidang Koreografi dan Seni Pertunjukan serta Progam Doktoral Kajian Seni Pertunjukan di Universitas Gajah Mada.
“Perbedaan tari dan silat adalah rasa. Di silat tidak ada yang namanya rasa. Maka dari itu, indahnya silat adalah tari,” terang dia yang menyelesaikan magisternya di UCLA, Amerika Serikat dalam bidang Koreografi dan Seni Pertunjukan serta Progam Doktoral Kajian Seni Pertunjukan di Universitas Gajah Mada.
Eko yang mempunyai Ekos Dance Company dan Yayasan Ekos Dance
menuturkan, dalam membuat karya harus memperhatikan masalah tradisi, kekritisan
dalam menciptakan gagasan yang baru dan interpertasi. Menurutnya, karya yang
baik mempunyai sense of feeling
(rasa).