SEPUTARKUDUS.COM, DEMANGAN – Tembok bangunan ini masih berbahan kayu dengan
genting tanah merah yang mulai kusam. Di sisi depan rumah terdapat tempat
pengisian ulang air minum yang mengahadap ke barat dengan label nama Ozone. Bangun tersebut diapit dua rumah lainnya, sisi selatan rumah Bidan Dyah Ekowati
dan sisi utaranya Toko Listrik 29. Letak rumahnya dekat dengan perempatan yang
populer dengan nama Perempatan Mojopahit.
Kawasan Perempatan Mojopahit, Demangan, Kota, Kudus. Foto: Imam Arwindra |
Bangunan yang terletak di Desa Demangan, Kecamatan
Kota, Kabupaten Kudus tersebut, menurut Nur Mukhlis (40) pemilik bangunan, dulu merupakan pabrik tenun dengan nama Mojopahit.
“Orang Kudus pasti paham dengan Perempatan Mojopahit. Toko-toko di sekitar perempatan pun banyak yang menggunakan nama Mojopahit, misalnya Mojopahit Cell, Mojopahit Jok, Toko Mojopahit, termasuk pabrik tenun milik ayah saya,” ungkapnya kepada Seputarkudus.com, belum lama ini.
Mukhlis mengatakan, berdasarkan cerita dari ayahnya, dulu sebelum pabrik tenun berdiri, perempatan tersebut sudah disebut Perempatan Mojopahit. Menurut cerita ayahnya, ketika zaman kerajaan ada pedagang dari Mojokerto yang selalu berdagang di sebelah perempatan tersebut.
“Karena daerah Mojokerto berdiri kerajaan Majapahit, dia mungkin kemudian dikenal pedagang dari Kerajaan Majapahit. Dan akhirnya nama perempatan tersebut disebut warga dengan sebutan Perempatan Mojopahit,” terangnya.
Tak jauh dari perempatan yang mempertemukan Jalan Kyai
Telingsing, Jalan KH Noor Hadi dan Jalan
Dr Wahidin Sudiro Husodo, menurut Mukhlis dulu terdapat
bangunan satu lantai. Bangunan itu oleh ayahnya bernama Munajat, dibuat tempat produksi kain tenun ketika zaman penjajahan Jepang.
“Pabrik tenun ayah saya sudah berhenti produksi lama. Dan bangunannya sekerang saya tempati bersama keluarga,” jelasnya.
Nur Mukhlis, generasi pabrik tenun Mojopahit. Foto: Imam Arwindra |
“Pabrik tenun ayah saya sudah berhenti produksi lama. Dan bangunannya sekerang saya tempati bersama keluarga,” jelasnya.
Mukhlis menuturkan, produk yang dihasilkan dari perusahaan
ayahnya dibuat menggunakan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin). Pemasaran ketika zaman penjajahan Jepang sudah sampai di daerah Sumatra dan
luar Jawa. “Alat produksinya seperti yang ada di Troso Jepara. Masih
alami menggunakan tenaga manusia,” tambahnya.
Dia menceritakan, perusahaan ayahnya bangkrut
sekitar tahun 1965 karena ada konflik politik Partai Komunis Indonesia (PKI).
Saat itu, orang yang dituduh PKI ditangkap. Efeknya terjadi penjarahan
di mana-mana dan perusahaan milik ayahnya juga ikut terkena penjarahan. “Akhirnya
seluruh alat dijual ke Troso,” tuturnya.