SEPUTARKUDUS.COM, JEKULO – Sejumlah anak bersarung tampak
duduk di teras sebuah pondok pesantren di Kudus. Mereka tampak sibuk memotong sayur dan menyiapkan
bumbu-bumbu masakan. Mereka tengah menyiapkan sajian masakan untuk disantap saat waktu berbuka puasa tiba.
Satu diantara anak tersebut yakni Rifai (22). Dia
mengaku setiap hari memasak bersama rekan-rekannya di pondok. Menurutnya, dengan menyiapkan makanan secara mandiri akan
membuatnya menjadi pribadi yang mandiri dan menjaga kebersamaan antar santri.
“Di Al-Qaumaniyah santrinya memasak sendiri tidak dimasakkan pengurus,” ungkapnya ketika ditemui di teras Komplek A Pondok Pesantren Al-Qaumaniyah Desa Jekulo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, ketika memotong sayur, beberapa waktu lalu.
Sejumlah santri Al-Qaumaniyah sedang memotong sayur untuk dimasak bersama, Selasa (7/6/2016). Foto: Imam Arwindra |
“Di Al-Qaumaniyah santrinya memasak sendiri tidak dimasakkan pengurus,” ungkapnya ketika ditemui di teras Komplek A Pondok Pesantren Al-Qaumaniyah Desa Jekulo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, ketika memotong sayur, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, belajar memasak sangat penting untuk laki-laki. Selain
untuk berlatih mandiri. Kelak juga laki-laki harus siap membantu istri jika
kesusahan. “Kalau istri sedang hamil atau sedang repot dengan anak, suami bisa
membantu untuk memasakkan makanan. Akan lebih romantis kan,” tutur dia sambil tersenyum.
Dia yang berasal dari Rembang menuturkan, sudah sejak lama
santri-santri di Al-Qaumaniyah memasak sendiri. Dia menceritakan, dulu
mereka memakai kayu bakar untuk digunakannya memasak. Namun karena membuat
tembok berwarna hitam akhirnya digunakanlah kompor. “Sekarang karena minyak
tanah mahal menggunakan gas elpiji,” tambahnya.
Rifai memberitahukan, santri yang memasak membuat kelompok-kelompok. Setiap kelompok terdapat 15 orang hingga 20 orang. Iuran yang dibayar setiap
orang Rp 50 ribu. “Uang yang sudah terkumpul akan digunakan untuk membeli
kebutuhan dapur. Jika nanti habis akan iuran lagi,” terangnya.
Masakan yang biasa dimasak menurutnya sayur-sayuran. Secara bergantian
ada yang bertugas pergi ke Pasar Bareng untuk membeli bahan-bahan dapur. Ketika Ramadan, sorenya sayur dan bumbu-bumbu diolah bersama-sama. “Jadi
ada yang memotong sayur, mengupas bawang, menanak nasi. Kami lakukan semuanya bersama-sama,”
ungkapnya.
Dia melanjutkan, setelah waktu berbuka tiba, mereka menyantap makanan di sebuah nampan. Nasi dan lauknya dijadikan satu, dan mereka melahap makanan tanpa menggunakan sendok. “Nanti makannya muluk (memakai tangan). Lebih alami dan tentunya menjaga
kebersamaan,” tuturnya.
Pondok yang diasuh oleh tiga cucu KH Yasin (pendiri
Al-Qaumaniiyah) Gus Yasin, Gus Khidir dan Gus Mujib dikenal masyarakat dengan
pondok salaf. Gus Khidir menuturkan, di Al-Qaumaniyah sekitar ada 200 santri
yang mondok. Mereka menempati bangunan pondok Komplek A, B dan C.
“Namanya
seperti lokalisasi saja ya (komplek). Saya juga tidak tahu mengapa dulunya
namanya komplek,” ungkapnya.