Teater Gerak 11 sedang menyanyikan lagu Kebenaran Akan Terus Hidup karya Fajar Merah saat Talk Show Anti Kekerasan terhadap perempuan di Taman Krida Kudus, Selasa (31/5/2016). Foto: Imam Arwindra |
Alim menuturkan, Teater Gerak 11 memilih lagu tersebut karena lirik yang diciptakan Fajar Merah sangat sesuai dengan diskusi yang digelar Korp PMII Putri (Kopri) Kudus. Menurutnya, banyak kekerasan terhadap perempuan dikarenakan kemerosotan moral. Selain itu, masyarakat masih memandang wanita sebagai kaum kelas dua. “Pembelajaran moral perlu digalangkan dan kebenaran harus dimunculkan,” ungkapnya.
Fitria Dwi Noor Aini, Ketua Korp PMII Putri (Kopri) pelaksana kegiatan tersebut menuturkan, sekarang marak terjadi kekerasan perempuan dan anak. Media-media gencar memberitakan wanita-wanita diperkosa dan dibunuh. Serta anak-anak yang menjadi korban seksual.
“Kemarin ada media yang memberitakan seorang wanita ditemukan tewas dengan gagang cangkul di kemaluannya. Itu sangat memprihatinkan” ungkapnya.
Menurutnya, perlu ada sebuah pembelajaran moral supaya masyarakat Indonesia dapat terjaga dari tindakan kekerasan. Terutama yang menjadi objek kekerasan yakni perempuan dan anak. “Caranya melalui advokasi terhadap perempuan dan anak,” ungkapnya.
Pelecehan Bisa Berbentuk Tulisan, Ucapan, dan Gambar
Dari kanan ke kiri, Eni Mardiyanti, Moh. Widjanarko, Rahayu, Wahyu, saat menjadi narasumber dalam diskusi yang digelar Korp PMII Putri Kudus. Foto: Imam Arwindra |
Wahyu, aktivis Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kudus mengungkapkan, bentuk-bentuk kekerasan perempuan dan anak bukan hanya kekerasan fisik atau psikis saja, melainkan juga kekerasan seksual, penelantaran, dan eksploitasi. “Pelecehan melalui ucapan, tulisan, gambar, simbol atau gerakan tubuh yang membuat orang lain tidak nyaman pun termasuk kategori pelecehan,” ungkapnya.
Dia melanjutkan, dampak yang dihasilkan bisa menimbulkan rasa sakit, jatuh sakit, luka berat, ketakutan, hilangnya rasa percaya diri hingga menderita penyakit mental. “Kita harus bersama-sama mengawal isu perempuan dan anak,” tambahnya.
Mochamad Widjanarko, pakar psikologi Universitas Muria Kudus (UMK) menuturkan, dalam mengawal isu kekerasan terhadap perempuan dan anak, sudah tidak samannya lagi menggunakan cara membuat seminar atau talk show yang bermuatan sosialisasi.
Menurutnya, cara tersebut sudah tidak efektif. Alangkah lebih baik, aksi dilakukan dengan mendatangi perkumpulan-kumpulan RT yang biasanya banyak lelaki berkumpul. Selanjutnya, bisa dijelaskan akibat dari melakukan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Seperti yang sudah berjalan di Semarang. Kami masuk ke perkumpulan RT dan menjelaskan tentang akibat dari melakukan kekerasan. Kalau perlu ajak polisi untuk menjelaskan pidananya,” jelasnya.