SEPUTARKUDUS.COM, PURWOSARI - Seorang lelaki tua terlihat duduk di trotoar Jalan Kudus Jepara, Kelurahan Purwosari, Kecamatan Kota, Kudus, tak jauh dari Swalayan ADA. Di sisi kanan dan kirinya terdapat dua kotak yang tampak mengeluarkan asap di atasnya. Lelaki tersebut bernama Suwarno (60), seorang penjual kue putu
keliling.
Meski dihinggapi perasaan bersalah, dia tetap berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain, untuk berjualan kue putu pada siang hari selama Ramadan ini. Hal itu dilakukan demi menyukupi kebutuhan istri dan tiga anaknya di Wonogiri. Meski berjualan kue putu pada siang hari, Suwarno mengaku tetap berpuasa.
“Aku berpuasa tapi aku tetap berjualan kue putu. Aku tahu tidak baik berjualan makanan di bulan Ramadan pada siang hari. Tetapi demi mendapatkan uang untuk keperluan istri dan anaku di Wonogiri, aku harus tetap berjualan,” ujar lelaki yang telah berjualan kue putu di Kudus selama 10 tahun, kepada Seputarkudus.com.
Di bercerita, dirinya mulai berjualan kue putu di Kudus pada awal tahun 2006. Dia tidak sendiri, ada tiga temanya dari Wonogiri yang juga berjualan makanan isi gula Jawa tersebut. Selama di Kudus, dia hidup mengontrak bersama tiga rekannya.
Meski dihinggapi perasaan bersalah, dia tetap berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain, untuk berjualan kue putu pada siang hari selama Ramadan ini. Hal itu dilakukan demi menyukupi kebutuhan istri dan tiga anaknya di Wonogiri. Meski berjualan kue putu pada siang hari, Suwarno mengaku tetap berpuasa.
“Aku berpuasa tapi aku tetap berjualan kue putu. Aku tahu tidak baik berjualan makanan di bulan Ramadan pada siang hari. Tetapi demi mendapatkan uang untuk keperluan istri dan anaku di Wonogiri, aku harus tetap berjualan,” ujar lelaki yang telah berjualan kue putu di Kudus selama 10 tahun, kepada Seputarkudus.com.
Di bercerita, dirinya mulai berjualan kue putu di Kudus pada awal tahun 2006. Dia tidak sendiri, ada tiga temanya dari Wonogiri yang juga berjualan makanan isi gula Jawa tersebut. Selama di Kudus, dia hidup mengontrak bersama tiga rekannya.
“Selama di Kudus aku hidup mengontrak bersama tiga temanku di
sebuah kontrakan yang berada di Desa Prambatan, Kecamatan Kaliwungu, Kudus.
Kami berempat iuran Rp 100 ribu per orang setiap bulan, untuk membayar
kontrakan tersebut,” kata Suwarno.
Pria yang mengaku mempunyai tiga anak itu mengungkapkan,
sebenarnya berjualan kue putu tidak
seberapa hasinya. Jika kue putu miliknya habis terjual, dia mendapatkan
uang sekitar Rp 120 ribu. Setelah pendapatan itu dipotong untuk membeli bahan kue dan bahan bakar, Suwarno hanya mendapat keuntungan bersih sekitar Rp 60 ribu.
“Karena penghasilan
yang minim, aku tidak bisa menyekolahkan anakku yang pertama ke SMA (sekolah menengah atas). Dia hanya lulus SMP. Sedangkan anakku yang kedua,
baru duduk di kelas lima (SD) sekolah dasar. Dan anakku yang ketiga baru mau masuk
SD tahun ini,” ujar Sumarno sambil mencuci bambu, cetakan kue putu.