Sebuah desa yang jauh dari hiruk pikuk kota ini ternyata menyimpan sejarah indah, dalam kisah heroik pertempuran muria yang tiada duanya. Bagaimana tidak? saat pemerintahan sipil Kudus lumpuh (dikuasai Belanda) para pejuang mendirikan pemerintahan militer Kudus yang berpusat di desa ini. Bupati militer saat itu Kapten Kahartan, menjadikan desa ini menjadi pusat komando perjuangan di Kudus.
Di tempat inilah, pasukan elit Macan Putih yang berjumlah 40 personil didirikan. Pasukan Macan Putih ini begitu terkenal di kalangan masyarakat sekitar Muria dan ditakuti tentara Belanda. Dalam penyergapan di wilayah Trowelo, Gembong, pasukan ini menyerang iring-iringan pasukan Belanda dan membunuh komandannya bernama kapten Van der Deisyen (keterangan Mbah Darsono, 95)
Menurut Nasir Sidiq, mantan perangkat desa setempat, masyarakat Glagah Kulon sangat aktif membantu eksistensi para pejuang. Mulai dari spionase intelejen hingga logistik. Semuanya diberikan tanpa pamrih demi perjuangan kemerdekaan negeri ini.
Untuk mengenang perjuangan kemerdekaan di desa ini, maka atas jasa baik seorang kontraktor jalan raya pada 1970 dibangun lah Monumen komando daerah Muria. Masyarakat sekitar juga menjuluki Monumen komando macan putih (KMP). Bangunan ini didirikan di bekas rumah milik Mohdirono Sarbo, yang memang pada masa revolusi digunakan sebagai markas utama Bupati Kahartan.
Almarhum Lisiyas, veteran yang ikut berjuang di area Muria bercerita, pihaknya punya keinginan untuk membuat monumen ini lebih 'hebat' tapi sayangnya itu baru sebatas mimpi karena tak ada dana.
Pemerintah daerah seyogyanya lebih memperhatikan aset sejarah ini. Walaupun berada di wilayah pelosok, Monumen komando daerah Muria tercatat pernah menjadi "kantor bupati". Tentunya sejarah ini tak boleh dilupakan begitu saja, agar generasi muda dapat mengetahui dan mempelajarinya.
Penulis:
Danar Ulil |