Latest News

Pro dan Kontra Hari Lahir Kabupaten Kudus

Penulis: Danar Ulil Husnogroho

SEPUTAR KUDUS - Selasa, 23 September 2014 lalu Kabupaten Kudus genap berusia 465 tahun. Kota kecil yang berada di sebelah selatan Gunung Muria memasuki usia yang bisa dibilang tua dengan berbagai dinamika peradabannya. Dengan julukan “Kota Kretek” dan “Kota Santri” yang begitu populer di kalangan masyarakat luas, ternyata hari lahirnya menuai kontroversi.

Meski hari jadi Kabupaten Kudus telah ditetapkan sejak 23 September 1549 Masehi melalui Peraturan Daerah (Perda) nomor 11 tahun 1990 tertanggal 6 Juli 1990, beberapa pihak masih mempersoalkan kebenaraan dari sisi historisnya.

Bahkan Central Riset dan Manajemen Informasi (Cermin) News edisi 6, September 2001, pernah menurunkan tulisan Meluruskan Sejarah Hari Jadi Kota Kudus. Tulisan sepanjang satu halaman itu diakhiri dengan kalimat “Kita harus berani mengambil sikap untuk meluruskan sejarah. Dengan menampilkan sejarah sub versi yang berbasis kepada kebenaran historis, untuk menandingi sejarah versi resmi yang berbasis pada kekuasan dan hegemoni”.

Sejarah Perda nomor 11 tahun 1990, diawali dengan penelitian sejarah dari Universitas Gajah Mada (UGM) yang diketuai Djoko Suryo dengan anggota antara lain Sukirman selaku sejarawan dan Inajati Romli selaku arkeolog.

Sedangkan dasar pijakan mereka sebagai bahan historis adalah tentang tokoh yang akhirnya disepakati Sunan Kudus yang bernama asli As- Sayyid Dja’far Shodiq. Kemudian pijakan kedua tentang tahun. Ada dua sumber yang dapat dirujuk tim dari UGM tersebut, yaitu Condro Sengkolo Memet yang ada di Masjid Langgardalem yang rumit penafsirannya. Kemudian Condro Sengkolo Lombo yang ada di mihrab Al Masjidil Aqsha Menara, sebuah simbolisasi yang secara jelas menyebut angka, yaitu 956 Hijriah.

Selain itu, pijakan tentang tanggal ada tiga pilihan. Pilihan pertama yaitu tanggal 1 Ramadhan yang selama ini ditengarai dengan tradisi Bedug Dhandhangan berasal dari Sunan Kudus saat mengumumkan awal bulan puasa yang ditandai dengan pemukulan bedhug yang berbunyi dhang-dhang. 

Pilihan kedua tanggal 10 Muharram yang ditandai dengan tradisi Buka Luwur Kanjeng Sunan Kudus. Dan pilihan ketiga adalah 12 Rabi’ul Awwal yang merupakan peringatan kelahiran nabi Muhammad SAW. 

Akhirnya tim UGM bersama tokoh masyarakat Kudus sepakat Hari Jadi Kota Kudus jatuh pada tanggal 1 Ramadhan 956 Hijriah atau tanggal 2 Oktober 1549 Masehi. Sementara almarhum KH Turaichan Adjuhri Es-Syarofi (kiai ahli falak Kudus) mengkoversi tanggal 3 Oktober 1549 M. Namun dalam Perda yang ditanda-tangani Bupati Kudus Kolonel Soedarsono itu menjadi 23 September yang hingga sekarang masih tetap diberlakukan. 

Selain hal tersebut, ada juga penelitian yang dilakukan Claude Guillot dan Ludvik Kalus (Ilmuan Perancis) yang menetapkan tanggal 28 Rajab 956 H. Namun, Ketua Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK), KH EM Najib Hasan, mengkritisi hasil pembacaan ahli dari Perancis yang telah dibukukan, kata 28 Rajab dalam bahasa arab tidak ditemukan dalam catatan prasasti.

Dari uraian diatas kita perlu bijak memahami dasar historis kelahiran Kudus, yang bersumber dari kajian para peneliti sejarah yang objektif. Seyogyanya Pemerintah Kabupaten Kudus merangkul berbagai pihak, mulai dari peneliti sejarah, akademisi hingga tokoh masyarakat untuk “rembugan bareng” menyikapi kontroversi hari lahir Kabupaten Kudus. Sehingga hari lahir “Kota Kretek” dengan adagium “GUSJIGANG” ini dapat diterima semua pihak.



Penulis Danar Ulil Husnugraha
Ketua Komunitas JENANK (Jaringan Edukasi Napak Tilas Kabupaten Kudus)