Tak jarang pertanyaan bahwa orang Kudus pelit, sering dilontarkan masyarakat di daerah lain, ketika bertemu dengan orang Kudus. Tentu ini pertanyaan yang sulit dijawab. Bagaimana tidak, untuk mengklarifikasi atau membuat narasi jawaban tentu perlu pembuktian. Lalu, bagaimana untuk membuktikan orang Kudus bukan masyarakat yang pelit.
Dilihat dari tradisi yang berkembang di masyarakat Kudus, mungkin ada beberapa hal yang bisa dibuat justifikasi masyarakat di daerah lain, bahwa orang Kudus memang pelit. Hal itu terlihat dari kemasan sajian makanan tradisional yang sangat populer, yakni Soto Kudus. Mangkuk yang digunakan penjual masakan ini, bisa dibilang kecil, jika dibanding dengan mangkuk yang dibuat untuk menyajikan soto dari daerah lain, Soto Semarang misalnya.
Tak hanya itu, masakan khas Kudus lain yang juga menggunakan wadah cukup mungil, yakni Lenthog Kudus. Makanan yang lazim disebut lontong di daerah lain ini, menggunakan piring kecil dalam penyajiannya. Piring yang digunakan, lebih kecil jika dibanding piring yang digunakan untuk menyajikan Nasi Gandul di Pati.
Hal lain yang juga bisa dijadikan pembenaran masyarakat di lain daerah, ketika Lebaran tiba. Hidangan makanan kecil yang disuguhkan di atas meja diwadahi toples, baik berukuran kecil maupun besar. Namun, mulut toples banyak yang mengatakan terlalu kecil. Sehingga ukuran tangan orang dewasa tidak cukup untuk mengambil makanan atau camilan dalam jumlah banyak.
Hal tersebut, memang tidak serta-merta bisa dijadikan dasar sebagai pembenaran bahwa masyarakat Kudus pelit. Karena, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, kata pelit bermakna orang yang tidak suka memberikan sedekah. Tentu, persepsi masyarakat di daerah lain yang menyatakan masyarakat Kudus pelit, dengan beberapa justifikasinya, tidak sesuai dengan pengertian kata tersebut dalam kamus.
Terlepas dari hal itu semua, persepsi publik yang menilai masyarakat Kudus pelit, sah-sah saja disematkan. Namun, bagi orang Kudus, anggapan pelit dari masyarakat di lain daerah tersebut mungkin bermksud menilai bahwa orang Kudus pandai hemat, tidak mudah terbawa arus konsumtif, serta memiliki jiwa kemandirian.
Anggapan ini, mungkin tidak lepas dari peran dua wali yang ada di Kudus, yakni Sunan Kudus dan Sunan Muria. Dua sosok tersebut memberikan pembangunan karakter masyarakat di Kudus sejak dulu, sebagai individu maupun masyarakat majemuk yang ulet baik dalam bidang usaha maupun perdagangan. Hemat dan mempergunakan sesuatu sesuai porsinya, merupakan satu kunci sukses membangun usaha dan perdagangan.
Sunan Kudus, merupakan panglima perang sekaligus pemangku bidang ekonomi pada masa kerajaan Demak. Selain dikenal sebagai seorang yang berilmu, Sunan Kudus juga sangat dikenal sebagai sosok yang kaya. Jiwa wirausaha banyak ditularkan kepada masyarakat Kudus saat itu, terutama yang bermukim di Kauman, atau sekitar Kota Lama Kudus. Masyarakat yang bertempat tinggal di sebelah barat Sungai Gelis atau lazim disebut masyarakat Kudus Kulon itu, dikenal sebagai pengusaha sukses, ulet dan mandiri.
Hingga kini, masyarakat Kudus Kulon dikenal sebagai juragan-juragan sukses. Berbagai bidang usaha yang masih digeluti masyarakat di sekitar komplek Makam Sunan Kudus, antara lain pembuatan pakaian jadi, percetakan, pembuatan kaligrafi, dan usaha perdagangan. Banyak produsen pakaian di sana, yang menyetor produk ke Pasar Kliwon sebelum dikirim ke sejumlah di kawasan Pantura Timur, hingga ke luar Jawa.
Sedangkan Sunan Muria, memberi pengetahuan bercocok tanam dan berdagang kepada masyarakat di kawasan Muria, selain menyebarkan ajaran Islam. Sama halnya dengan apa yang diajarkan Sunan Kudus, Sunan Muria juga mengajarkan masyarakat Kudus tentang kemandirian.
Masyarakat di kawasan Muria, diajarkan Sunan Muria untuk memanfaatkan lahan yang ada untuk bercocok tanam. Yang masih dikenal hingga kini sebagai sejarah tutur, Sunan Muria mengajarkan masyarakat menanam tebu. Hal itu, mungkin bisa menjadi bukti, banyaknya masyarakat di lereng Muria yang menanam tebu, untuk diproduksi menjadi gula Jawa. Saat ini, masih bisa ditemukan masyarakat di lereng Muria yang memproduksi gula Jawa, antara lain di Desa Samirejo, Kecamatan Dawe.
Di sekitar Makam Sunan Muria, saat ini juga masih banyak warga yang menjual hasil buminya kepada para peziarah yang datang dari berbagai penjuru daerah di Jawa. Sejumlah hasil bercocok tanam yang dijual, antara lain pisang, umbi jangklong, kayu pakis dan parijotho.
Masyarakat di luar daerah boleh menganggap masyarakat Kudus sebagai orang yang pelit. Namun mereka juga tentu setuju, masyarakat Kudus memiliki keuletan dan jiwa kemandirian. Lalu, apakah masih ada rasa dongkol dengan anggapan pelit tersebut? Anggap saja mereka yang menganggap pelit tidak lebih sukses daripada kita yang ulet dan mandiri. (*)