SEPUTAR KUDUS - Seorang anak ontang-anting di Desa Glagah Waru, Kecamtan Undaan, Kabupaten Kudus, diruwat untuk menghindarkan sang anak dari marabahaya. |
Kata ruwatan, tentu sudah sering kita dengar. Ini merupakan ritual yang dilakukan dengan tujuan untuk memohon kepada Tuhan, agar segala marabahaya atau sengkala dapat terhindarkan. Tradisi ruwatan juga masih dijaga di Desa Glagah Waru, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus.
Ontang-anting dalam Bahasa Indonesia disebut anak semata wayang, atau anak tunggal dalam sebuah keluarga. Dalam tradisi Jawa, anak ontang-anting dianggap membawa sengkala. Hingga kini sebagian masyarakat di Kudus percaya, ruwatan tersebut bisa menghindarkan anak tersebut pada potensi marabahaya yang akan terjadi.
Prosesi yang dilakukan tersebut menyedot banyak warga. Banyak warga berkerumun di sekitar lokasi dilaksanakannya ruwatan, di depan rumah orang tua sang anak ontang-anting. Bahkan, banyak anak kecil yang datang untuk melihat prosesi tersebut.
Prosesi ruwatan yang dilaksanakan di Desa Glagah Waru tersebut melalui beberapa tahapan. Pertama, para pemain barongan melakukan dialog, semacam drama. Kemudian, anak ontang-anting didampingi kedua orang tua dibawa menuju lokasi prosesi ruwatan. Di lokasi tersebut, sang anak diserahkan kepada para pemain barongan, melalui serangkaian seserahan.
Setelah para pemain barongan menerima anak ontang-anting tersebut, dua orang pemain barongan memainkan benda miniatur harimau dan burung merak itu. Tak beberapa lama setelah melakukan atraksi dan gerakan, barongan tersebut mencaplok kepala anak ontang-anting.
Dalam istilah Jawa, anak ontang-anting merupakan golongan anak sukerta yang memiliki sengkala sejak lahir. Selain ontang-anting, anak yang tergolong memiliki sengkala yakni dua anak berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, atau dalam istilah Jawa disebut kedana-kedini. Selain itu, juga dua anak perempuan yang disebut kembang sepasang.
Anak sukerta lain yang diyakini membawa sengkala, yakni dua anak semuanya laki-laki atau disebut uger-uger lawang. Selain itu tiga anak, anak pertama dan ketiga berjenis kelamin laki-laki dan anak kedua berjenis kelamin perempuan (diapit), atau disebut sendang kapit pancuran, juga diyakini membawa sengakala. Demikian pula tiga anak, anak pertama dan ketiga berjenis kelamin perempuan dan anak kedua berjenis kelamin laki-laki, atau dalam istilah Jawa disebut pancuran kapit sendang.
Tradisi ruwatan merupakan sebuah produk kebudayaan dan peradaban. Menjaganya, sama dengan mempertahankan jati diri. Menjaga Produk budaya yang diwariskan para leluhur, merupakan kearifan yang memang tetap harus dipertahankan. Karena tidak semua bangsa, memiliki produk budaya seadiluhung seperti apa yanng kita miliki saat ini. (Mase Adi Wibowo)