Latest News

Mencari Pemimpin di Kudus Ala Platon

SEPUTAR KUDUS - Romo Setyo sedang menjelaskan pendapat-pendapat Plato dalam bedah buku yang dilaksanakan di Sekretariat Marem.
SEPUTAR KUDUS - Bagi sebagian orang, pemimpin dipercaya datang dari "suara langit". Namun, ada pula sebagian masyrakat percaya, pemimpin berasal dari sebuah penempaan dan proses panjang. Sebagaimana pendapat Romo Setyo Wibowo, merujuk pendapat Socrates, bahwa pemimpin harus dipersiapkan. Pendapat itu disampaikan dalam bedah buku "Mari Berbincang Bersama Platon", di sekretariat Masyarakat Reksa Bumi (Marem), baru-baru ini.

Menurut Setyo, pendapat Plato tersebut sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Pasalnya, dari sekian pemimpin yang ada, belum mampu memunculkan keberanian dalam setiap kebijakan yang diputuskan. Pemimpin yang ada saat ini, cenderung lemah, banyak pertimbangan dan tidak ada keberanian. Padahal, keberanian sangat penting bagi seorang pemimpin.

"Setiap pemimpin harus berani berubah (progresif), dan berani bertindak. Keberanian ini tidak serta merta datang datang dari langit, namun harus melalui penempaan dan proses yang panjang," ujar Setyo, di hadapan peserta diskusi yang lain.

Setyo menambahkan, menurut pendapat Plato, setiap orang tua atau siapapun yang peduli terhadap pendidikan kaum muda, perlu memahami apa itu keberanian. Selain itu, harus memahami keberanian dan relasinya terhadap kebaikan dalam tata nilai kehidupan sosial.

Doktor ilmu filosofi di Universitas Sorbonne, perancis, itu, tidak mengingkari bakat seorang pemimpin yang datang secara alamiah atau bawaan sejak lahir. Namun, tak semua orang memiliki karunia khusus tersebut. Selain itu, sangat sulit untuk mengetahui potensi yang datang dari "suara langit" tersebut. Mendasarkan penapatnya dari pendapat Plato, seorang pemimpin harus dibentuk.

"Plato bukanlah orang yang memaksakan kehendak atas pendapat-pendapatnya. Namun, ia bergerak sendiri dengan membuat sebuah akademi, yang di dalamnya terdapat orang-orang terpilih, yang diproyeksikan sebagai seorang pemimpin di kemudian hari," katanya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, setiap siswa yang ada dalam akdemi tersebut diberikan pendidikan tentang filosofi kehidupan, teori-teori tentang pengetahuan dan kesenian, setelah itu mereka diterjunkan di tengah-tengah masyarakat selama lebih kurang 15 tahun. Di sanalah mereka akan mempraktikkan teori yang didapat di Akademi.

Sementara itu, salah satu peserta diskusi lain, Kholid Mawardi mempertanyakan pola pembentukan kepemimpinan ala Platon tersebut. Menurutnya, dalam buku tersebut Plato mentolelir penghapusan generasi, dan itu dianggap sebagai satu hal anti-demokrasi.

"Saya belum dapat menyimpulkan arah dan tujuan ideologis Plato dalam buku ini. Sebuah ajaran, atau pendapat yang menyangkut filosofi, yang didalamnya terdapat bebeberapa unsur, salah satunya kepemimpinan, selalu bermuara pada ajaran ideologis. Dan saya tidak menemukannya di sini," ujar Kholid, salah satu aktivis di Kudus itu. (Suwoko)