Latest News

Mbah Kasmani, Mantan Pejuang yang Tak Dihargai

Mbah Kasmani
Mantan Anggota Haiho Ikut Bertempur di Surabaya

KUDUS-Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya merupakan peristiwa bersejarah bagi Bangsa Indonesia. Salah satu mantan pejuang yang ikut mengangkat senjata dalam pertempuran berdarah itu adalah Kasmani. Namun, pria yang saat ini telah berusia 86 tahun itu, merasa tidak dihargai.

Kasmani yang pernah masuk dalam keanggotaan Heiho (tentara bentukan kolonial Jepang) pada tahun 1944 itu, mengaku selama ini tidak ada penghargaan dari pemerintah. Meski begitu, dirinya tidak menuntut apa-apa. Dirinya hanya meminta, pemerintah sekarang menghargai jasa-jasa para pahlawan, dengan membangun bangsa ini dengan sebaik-baiknya.

Saat ditemui di rumah sederhananya, di Desa Mlati Kidul RT 5 RW 2, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Kasmani menceritakan, pada pertempuran di Surabaya itu, dirinya menjadi pejuang yang tergabung dalam tentara Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang sebelumnya bernama Heiho (tentara bentukan Jepang). Pada saat itu, dirinya berjuang mengangkat senjata beserta dengan pasukan lain dari berbagai laskar yang ada di Surabaya. Di antranya Laskar Persindo, Laskar Hisbullah, dan relawan lainnya.

"Saat itu, semua rakyat Surabaya mendukung penuh pertempuran itu. Tidak hanya para laskar yang bersenjata, namun juga para relawan yang mengangkat bambu runcing," kata Kasmani, yang saat ini hanya tinggal bersama sang istri yang masih giat berbisnis katering makanan di rumah sederhananya, saat menceritakan peristiwa tersebut. Ia menambahkan, salah satu tokoh laskar yang turut bertempur bersamanya, adalah Bung Tomo. Namun, Dirinya mengaku terpisah dengan pahlawan yang terkenal dengan pidatonya yang mengobarkan semangat perjuangan itu. Dirinya hanya sempat bertemu sekali.

Dia menambahkan, pada saat itu, heroisme pejuang untuk mengusir pasukan Belanda dan Sekutu sangat besar. Para pejuang tidak takut meski dengan persenjataan seadanya. Taktik gerilya di perkotaan yang dipilih sebagai strategi bertempur, sangat efektif dilakuakan dan berhasil meluluh-lantakkan para imperialis. Namun, korban dari rakyat Indonesia pada saat itu juga sangat banya. Dia masih terngiang, banyaknya jenazah para pejuang yang bergelatakan di tempat pertempuran.

Lebih lanjut, pria yang sempat menjadi Pasukan Istimewa pengawal Presiden Sukarno selama tiga bulan di Jogjakarta itu mengatakan, saat itu, semua pejuang bertempur dengan keikhlasan. Mereka berjuang hanya karena ingin Indonesia merdeka seutuhnya. Meski dengan persenjataan seadanya, pasukan akhirnya dapat mengusir tentara Belanda yang didukung Inggris dan Amerika Serikat dari bumi Surabaya.

"Jangankan bayaran, untuk makan saja, kami harus mencari sendiri. Karena pada saat itu, pemerintah belum begitu kuat. Namun, dengan keikhlasan, keberhasilan dapat diraih. Bahkan, kami berhasil membunuh Jendral Malabi, pemimpin pasukan Belanda," kata pria yang gemar menonton berita di televisi itu.

Dituduh Antek PKI
Meski telah berhasil mengusir pasukan Belanda dan Sekutu, penghargaan terhadap dirinya tidak ia dapat dari pemerintah. Bahkan, dirinya mengaku dipenjara oleh Pemerintah Suharto, karena dituduh sebagai komunis. "Tidak hanya penghargaan yang tidak saya dapat, justru pemerintahan Orde Baru sempat memenjara saya di Nusa Kambangan selama 5 tahun. Hal itu karena saya dituduh sebagai antek Komunis," kata Kasmani.

Menurut Kasmani, dirinya hanya menjadi korban plotik Orde Baru. Dirinya dianggap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), hanya karena dirinya pernah menjadi ketua serikat buruh di PT Kereta Api. Dirinya dijebloskan ke dalam penjara pada tahun 1965, tanpa pengadilan yang jelas.

Upaya untuk merehabilitasi namanya dari tuduhan pemerintahan Suharto itu, hingga saat ini masih dilakukan. Bahkan, dirinya pernah menulis surat kepada tiga Presiden, pasca tumbangnya Rezim Orde Baru. "Saya pernah mengadukan nasib ke Presiden Megawati, Gusdur dan SBY. Namun, hingga sekarang belum ada tanggapan," keluhnya. Dia menambahkan, surat yang dikirimkan itu, telah dilakukannya sebanyak sembilan kali. Respon positif sebenarnya ia dapat dari mendiang Gusdur saat masih menjadi Presiden, namun sebelum namanya direhabilitasi, presiden ke empat itu keburu dilengserkan.

Dirinya rajin berkirim surat kepada para presiden, tidak hanya menuntut rehabilitasi, namun juga melontarkan kritik terhadap pemerintah yang sering tidak perpihak terhadap rakyat. Dirinya tidak berharap materi dan apapun dari pemerintah, dia hanya berharap penguasa sekarang tidak melupakan sejarah bangsa ini yang meraih kemerdekaat dengan nyawa dan darah.

Sementara itu, salah seorang sejarawan di Kudus, Edy Supratno menyatakan, pemerintah harus mengakui eksistensi para pahlawan. Keberadaan mereka adalah bagian dari mata rantai bangsa ini yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah. "Mengakui dan menghargainya, sama dengan menjunjung tinggi bangsa ini," kata Edy, lulusan Magister Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang, saat ditemui di kediamannya, Desa Panjang, Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus, kemarin. (suwoko)