Sahrin seorang matokan atau juru masak asal Desa Medini, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus. |
Matokan, atau koki atau chef tradisional telah ada jauh sebelum penyedia jasa katering marak. Peran mereka sangat penting bagi masyarakat yang ingin menggelar hajatan pernikahan, sunatan atau mantu haji, untuk menyediakan hidangan kepada para tamu. Matokan tidak hanya dibutuhkan untuk memasak nasi dan lauk bagi tamu yang datang, namun juga membuat minuman teh, yang lazim disuguhkan bagi tamu.
Sahrin (52), seorang matokan asal Desa Medini, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus yang telah menggeluti profesinya sejak puluhan tahun itu, mengaku sangat cinta terhadap pekerjaan yang telah menghidupi keluarga dan anak-anaknya, meski harus bergelut dengan suhu panas dapur yang cukup menyengat. Selain profesi utama sebagai petani, yang umum digeluti oleh Masyarakat Undaan.
Sahrin adalah matokan spesialis pemasak nasi. Dalam bekerja sebagai motokan, ia dibantu oleh istrinya, Istianah (50). Keahlian memasak nasi dalam jumlah besar, dipelajarinya dari orangtuanya dahulu. Dalam sehari, dirinya mampu memasak beras beratus kilogram, saat tenaganya diminta untuk menyediakan nasi pada acara hajatan besar.
"Tidak ada cara khusus untuk memasak nasi dalam jumlah besar. Cara memasak nasi yang saya lakukan, sama dengan cara yang dilakukan oleh orang lain. Namun, memang butuh kesabaran, agar nasinya bisa pulen dan enak dimakan," kata Sahrin, saat ditemui waktu memasak nasi di hajatan mantu haji, di Desa Berugenjang, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus, Sabtu (22/10) kemarin.
Dalam memasak nasi, Sahrin biasanya menggunakan dua panci besar yang mampu memuat 25 kilogram dan 30 kilogram beras. Untuk memasak 30 kilogram beras hingga menjadi nasi yang siap disajikan, dibutuhkan waktu kurang lebih dua hingga dua setengah jam, sedangkan untuk 25 kilogram beras, dibutuhkan waktu lebih kurang dua jam.
"Bagi masyarakat yang ingin menggunakan jasa saya, mereka tidak perlu menyediakan peralatan memasak. Cukup sediakan bahan bakar kayu dan dapur tradisional," ujar Sahrin. Ia menambahkan, Harga yang dikenakan ditentukan berdasarkan waktu yang dipergunakan untuk memasak. Dalam sehari semalam, ia hanya mematok harga Rp 150 ribu saja. Harga tersebut berlaku kelipatan, setiap waktu yang diminta oleh orang yang membutuhkan jasanya.
Sahrin mengaku tidak mempunyai kendala yang berarti saat memasak nasi dalam jumlah besar, pasalnya, kegiatan memasak nasi dalam jumlah besar telah ia lakukan berpuluh tahun lamanya. Ia mengaku kewalahan untuk melayani permintaan masyarakat pada saat rmai orang menggelar hajatan nikah, sunatan dan di bulan Dzulhijjah atau saat musim haji tiba.
Jasa matokan tidak hanya pemasak nasi, namun juga pemasak lauk Salah satu matokan pemasak lauk adalah Masdi (50). Pria asal Desa Berugenjang tersebut telah melakoni profesi tersebut belasan tahun. Dia biasa memasak daging kerbau atau kambing menjadi masakan pindang. "Untuk bumbu saya sendiri yang meraciknya. Bumbu tersebut juga saya bawa dari rumah. Untuk banyaknya bumbu, saya sesuaikan dengan daging kerbau atau kambing yang disediakan," ujar Masdi, saat memasak bersama Sahrin, kemarin.
Dalam memasak, Masdi juga dibantu oleh istrinya, Ngatonah (46). Masdi memasak daging dalam kuali besar, dan Ngatonah membantunya memotong-motong daging untuk disajikan. Dalam sehari-semalam, Masdi diupah Rp 150 ribu. Profesinya sebagai koki tradisional itu, cukup membantunya dalam memenuhi kebutuhan keluarga, selain juga berprofesi sebagai merbot Mmasjid dan buruh tani. (suwoko)