Latest News

Mengait Nafkah di Utas Tambang Perbatasan Kudus dengan Demak

Bagi masyarakat di perbatasan Kabupaten Demak dan Kudus yang terbelah sungai Wulan, Jasa penarik perahu dengan tambang sangatlah besar. Karena, dengan tambang itulah, masyarakat Kecamatan Karanganyar, Demak, di perbatasan bisa menyeberangi sungai ke Kecamatan Undaan, Kudus.

Tambang itu digunakan penyedia jasa penyeberangan untuk menarik perahu membelah sungai Wulan yang memiliki lebar sekitar 50 meter. Dengan perahu itu, masyarakat di beberapa desa di Karanganyar dapat menyeberang sungai untuk bekerja, membeli kebutuhan sehari-hari, atau ke sekolah di beberapa tempat di Kudus, khususnya di Kecamatan Undaan. Dengan tambang itu pula tukang perahu "mengait" nafkah dari upah yang diberikan oleh masyarakat yang menggunakan jasanya. 

Sujadi (53), seorang penarik perahu, setiap hari harus terus mengait tambang untuk menyeberangkan masyarakat di Dukuh Gandek, Desa Undaan Kidul, dan beberapa desa lain di Kecamatan Karanganyar, menuju ke Desa Undaan Kidul, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus. Setiap orang yang menggunakan jasa Sujadi, membayar Rp 1.000, untuk pulang pergi. Tarif penyeberangan dihitung setiap orangnya, bukan termasuk barang bawaan atau sepeda motor yang dibawa.

Hal itu sudah dilakukan Sujadi sejak puluhan tahun silam. Setiap hari, ratusan penduduk dari Demak, menyeberangi sungi Wulan, untuk bekerja atau berbelanja kebutuhan, karena beberapa desa di perbatasan Demak itu cukup terpencil. Tidak ada jembatan di yang dapat dilalui, sehingga, bagi masyarakat di sana, Sujadi adalah orang yang sangat berjasa.

"Saat musim hujan seperti ini, jarak yang harus ditempuh untuk menyeberangi sungai menjadi lebih jauh. Karena permukaan air naik, dan lebar sungai menjadi bertambah. Harus butuh tenaga ekstra untuk dapat menarik perahu berpenumpang melalui tambang baja ini," tutur Sujadi, beberapa waktu lalu.

Sujadi menambahkan, saat debit air sungai sangat besar, dan permukaan air sungai sangat tinggi dan tambang tenggelam, dirinya terpaksa menganggur, karena perhau tidak bisa melaju. Di saat itu pula, masyarakat di beberapa desa di Karanganyar tersebut,tidak bisa menyeberang ke Kudus. Kalaupun bisa ke Kudus, harus menempuh jarak yang sangat jauh, melalui jalur darat dengan jarak puluhan kilometer. 

Sujadi bukanlah pemilik perahu yang setiap hari ia gunakan, melainkan milik juragannya. Ia diupah sesuai dengan uang yang terkumpul dari masyarakat yang menyeberangi sungai. Uang yang terkumpul kemudian dibagi dua, separuh untuk pemilik perahu, dan sisanya untuk dirinya. Namun, itupun masih dibagi dengan dengan seorang rekannya, sesama penarik perahu lain.

"Setiap hari saya bekerja dengan satu kawan lain. Biasanya kami bergantian, ketika sudah cepek, kawan sayalah yang menggantikan," ujar pria yang juga nyambi menjadi buruh tani itu.

Seorang penyeberang, Wati (38) mengaku sangat bergantung dengan jasa para penarik perahu itu. Tanpa mereka, mungkin penduduk di Desanya dan sekitarnya, tidak bisa bekerja dan membeli kebutuhan sehari-hari, karena, di tempatnya, tidak ada pasar. Selain itu, anak-anak mereka juga bergantung jasa penyeberangan itu untuk bersekolah di Kudus, yang mempunyai kualitas lebih bagus. 

"Penyeberangan ini telah ada sejak puluhan tahun silam. Bahkan, menurut cerita orang-orang terdahulu, ini sudah ada sejak zaman Belanda," tutur Wati, yang bekerja di salah satu pabrik rokok ternama di Kudus.

Wati berharap, pemerintah dapat membangun jembatan yang dapat menghubungkan daerah mereka dengan Kabuaten Kudus. Sehingga, masyarakat di sana dapat lebih mudah untuk pergi ke Kudus. (suwoko)