Deni mengamati proses penjemuran kertas daur ulang miliknya. Foto: Ahmad Rosyidi |
Kepada Seputarkudus.com, dia sudi bercerita tentang pengalaman pahit sebelum memulai usahanya itu. Dia menceritakan, sebelum memulai usaha, dirinya memesan mesin pembuat kertas gembos. Namun dirinya harus rela uang Rp 50 juta yang dibuat untuk uang muka melayang, karena sebelum mesinnya jadi, pembuat mesin meninggal dunia.
"Saat itu saaya sudah membayar uang muka sebesar Rp 50 juta untuk pembuatan mesin tersebut. Uang itu hasil dari menjual mobil yang saya miliki. Tapi, sebelum mesin jadi, pembuatnya meninggal dunia. Uang muka yang saya berikan tidak kembali," tutur Deni saat ditemui beberapa waktu lalu.
Deni mengaku tak putus asa. Dia tetap bertekad medirikan usaha tersebut. Tak berselang lama, akhirnya dia bisa mengumpulkan uang dan membeli mesin yang dia inginkan.
“Awal memulai usaha memang tidak mudah, setiap usaha pasti ada masa-masa sulit. Meski kehilangan uang Rp 50 juta saat itu, tidak mengurungkan niat saya membuka usaha. Saya orang yang berani mengambil risiko, kalau belum terjun pasti belum tahu kendalanya," ujarnya.
Ide untuk memproduksi kertas daur ulang itu berawal saat dirinya mengambil limbah kertas di sebuah pabrik untuk dijual lagi. Dia berinisiatif untuk memproses limbah itu agar memiliki nilai jual lebih. Dari itulah Deni kemudian memberanikan diri untuk membuka usaha produksi kertas gembos pada 2010.
"Dua tahun saya belum merasakan hasil, dan masih belajar tentang mesin produksi kerta gembos,” jelas pria tiga bersaudara itu.
Sebelum membuat kertas daur ulang, dirinya telah memproduksi boks kardus pengemas produk mebel di Jepara. Namun usahanya itu dianggap kurang stabil, karena pembayaran kardus hasil produksinya seret. Akhirnya dia memutuskan untuk menutup usaha pembuatan kardus, dan beralih ke pembuatan kertas gembos. Usaha itu dia jalankan bersama dengan usaha pengepulan kertas limbah pabrik.
Pria yang hanya lulus sekolah menengah atas (SMA) itu mengaku sejak lulus sekolah membantu ayahnya yang biasa mengambil limbah kertas dari pabrik untuk dijual lagi. Sebenarnya Deni sudah pernah mendaftar kuliah di sebuah perguruan tinggi. Namun, karena adiknya masih sekolah dan kakaknya yang belum lulus dari pendidikan militer, dia memutuskan untuk tidak kuliah dan memilih membantu orang tuanya.
“Saya sempat mau masuk kuliah, tetapi setelah saya pikir-pikir lagi akhirnya saya lebih memilih membantu orang tua. Saya lulus SMA tahun 1997. Kemudian membuka usaha membuat boks kardus pada tahun 2000, dan berali usaha produksi kertas gembos pada tahun 2010 hingga sekarang," tuturnya.
Pria dua anak itu juga mengaku belajar berkomunikasi dan membangun jaringan pasar dari ayahnya. Saat ini baru memiliki dua mesin cetak kertas gembos, satu mesin pres, dan satu mesin potong.
Meski sudah memiliki sejumlah mesin, namun Deni saat ini masih merasa kewalahan memenuhi kebutuhan pelanngannya. Dia memiliki pelanggan tetap dari Kudus, Semarang, dan Surabaya. Dia menjual produk buatanya seharga Rp 70 ribu per pak. Usahanya kini beromzet lebih dari Rp 50 juta per bulan.