SEPUTARKUDUS.COM, UMK - Aroma kemenyan tercium di ruang Auditorium Universitas Muria Kudus (UMK). Tampak seorang laki-laki mengenakan
ikat kepala hitam duduk bersila sambil membacakan sebuah mantra. Di depannya
terdapat kelapa hijau, kembang tujuh rupa, dupa serta lonceng yang dibunyikan
dengan tangannya. Mantra tersebut berulangkali diucapkan saat pentas produksi naskah 'Roh' yang dipertunjukkan Teater Gerak 11 PMII Kabupaten Kudus, Jumat (16/9/2016).
Satu adegan dalam pentas Teater Gerak 11 PC PMII Kudus berjudul 'Roh'. Foto: Imam Arwindra |
"Malaikum, malaikum, malaikum salam, malaikum ya salam,
assalamualaikum. Mendaratlah wahai roh-roh sejagar, merapatlah roh nenek moyang
yang terkatung di awan," ucap lelaki berikat kepala hitam mengucap mantra.
Alim Rois, sutradara pentas naskah 'Roh' menuturkan, mantra
yang digunakan untuk memanggil roh menurutnya sudah dirubah dari naskah
aslinya. Menurutnya, naskah asli karya Wisran Hadi menggunakan mantra yang
memang dipergunakan dukun. Dia tidak ingin roh-roh atau mahluk gaib datang dan
menimbulkan hal yang tidak diinginkan. "Hong wilahong, wilahong,"
ungkapnya dalam menyebutkan awalan mantra naskah asli.
Dia menjelaskan, untuk menghindari hal buruk yang mungkin terjadi,
mantra tersebut dirubah dengan kalimat salam, assalamualaikum. Menurutnya,
kalimat tersebut mempunyai arti mendoakan supaya selamat.
"Supaya para pemain dan penonton tidak ada yang kesurupan, akhirnya mantranya mengambil kalimat assalamualaikum. Jadi mendoakan supaya kita semua selalu diberikan keselamatan dalam beraktivitas. Terutama saat kegiatan ini sedang berlanjut," ungkapnya.
"Supaya para pemain dan penonton tidak ada yang kesurupan, akhirnya mantranya mengambil kalimat assalamualaikum. Jadi mendoakan supaya kita semua selalu diberikan keselamatan dalam beraktivitas. Terutama saat kegiatan ini sedang berlanjut," ungkapnya.
Menurut cerita yang dia ketahui, Teater Gerak 11 pernah melakukan
pementasan yang ada hubungannya dengan roh. Alhasil ada penonton yang kerasukan.
Alim juga menuturkan, saat latihan naskah ‘Roh’ juga ada pemain yang sempat
kesurupan.
Menurutnya, mungkin saat itu fikirannya sedang kosong. “Memang pentas produksi ini penuh dengan suasana mistik. Namun dari kami banyak menyelipkan guyonan supaya lebih santai dan tidak tegang,” tambah dia yang sudah lulus dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus.
Menurutnya, mungkin saat itu fikirannya sedang kosong. “Memang pentas produksi ini penuh dengan suasana mistik. Namun dari kami banyak menyelipkan guyonan supaya lebih santai dan tidak tegang,” tambah dia yang sudah lulus dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus.
Pentas yang dimainkan delapan orang tersebut naskah aslinya
menggunakan bahasa melayu. Alim menuturkan, naskah ‘Roh’ berasal dari Sumatra.
Naskah tersebut mengandung pesan moral agar bangga terhadap jati diri bangsanya
sendiri dari pada sesuatu hal dari luar. Menurutnya, banyak orang Indonesia yang
kurang bangga akan kultur, ras dan kebudayaannya sendiri. Mereka lebih bangga
akan budaya luar Indonesia.
“Ini memang tentang nasionalisme. Seperti contoh saja, disini (Kudus) banyak orang Jawa. Tapi mereka tidak jawani,” jelas dia yang mengadakan pentas bekerja sama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kegurusan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UMK.
“Ini memang tentang nasionalisme. Seperti contoh saja, disini (Kudus) banyak orang Jawa. Tapi mereka tidak jawani,” jelas dia yang mengadakan pentas bekerja sama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kegurusan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UMK.
Kepada Seputarkudus.com Alim menuturkan, alur ceritanya
dimulai dari seorang Ibu Suri yang mencari Suri. Ibu Suri datang ke dukun untuk
meminta tolong mendatangkan roh-roh demi menanyakan tentang Suri yang dianggap
hilang.
Menurut Alim, Suri yakni tokoh abstrak. Dia tidak berwujud. Suri yakni keyakinan dan jati diri Ibu Suri sendiri. Dia mulai tergoyah karena terpengaruh keyakinan dari luar. “Intinya tentang sebuah keyakinan jati diri. Kalau muslim yang tidak usah mengkafirkan orang. Karena semua punya keyakinan dan jati diri masing-masing,” tambahnya.
Menurut Alim, Suri yakni tokoh abstrak. Dia tidak berwujud. Suri yakni keyakinan dan jati diri Ibu Suri sendiri. Dia mulai tergoyah karena terpengaruh keyakinan dari luar. “Intinya tentang sebuah keyakinan jati diri. Kalau muslim yang tidak usah mengkafirkan orang. Karena semua punya keyakinan dan jati diri masing-masing,” tambahnya.