SEPUTAR KUDUS - Baliho caleg berukuran terpasang di Jalan R Agil Kusumadya, beberapa waktu lalu. |
SEPUTAR KUDUS - Calon anggota legislatif (caleg) yang akan mengikuti kontestasi Pemilu 2014 pada 9 April mendatang, telah melakukan psywar (perang psikologis) dengan sejumlah bentuk. Satu di antaranya melalui pemasangan gambar baliho dan poster. Pemasangan peraga kampanye itu tidak hanya di jalan-jalan besar ramai kendaraan, namun juga hingga di sudut-sudut kampung.
Boleh jadi, para caleg menganggap kontestasi politik yang sering disebut pesta demokrasi ini sebagai "perang". Itu terlihat pada peraga kampanye yang mereka pasang, dengan menampilkan foto dan jargon, yang kebanyakan berisi janji. Mungkin, dengan alat peraga kampanye itu, mereka bisa menunjukkan kekuatan. Semakin besar dan banyaknya baliho serta poster yang dipasang, semakin ingin menunjukkan bahwa dirinya caleg yang kuat. Baik di sisi pendanaan, maupun sebaran wilayah kantong suara.
Bahkan, pemasangan baliho dan poster banyak dilakukan caleg dengan mengesampingkan PKPU sebagai aturan main. Mereka tak mengindahkan aturan tersebut, dengan memasang peraga kampanye di sembarang tempat. Mereka tak menaati zonasi yang telah disepakati. Selain itu, mereka juga tak mempedulikan etika dan estetika pemasangan peraga kampanye, yang justru menjadi sampah visual. Dan bahkan, mereka tak segan memaku peraga kampanye itu di pohon yang secara aturan main, dilarang.
Jika benar anggapan perang itu adanya, ini tak ubahnya seperti perilaku kucing dan keluarganya. Mereka selalu mengencingi atau mencakar tempat, yang dianggapnya sebagai wilayah kekuasaan. Dia memberi tanda tersebut, agar tidak ada musuh yang mendekati wilayahnya. Perilaku ini mirip dengan pemasangan peraga kampanye yang dilakukan para caleg, yang menganggap pemasangan baliho dan poster di suatu tempat sebagai penanda wilayah kekuasaan.
Baliho dan poster sebagai peraga kampanye, memang hingga kini masih dianggap sebagai sarana yang efektif untuk melakukan sosialisasi. Namun, jika peraga kampanye dianggap sebagai perang psikologis terhadap kompetitor, tentu ini sangat berbanding terbalik dengan semangat pencarian wakil berkualitas. Karena, bisa jadi perang tersebut sama sekali tak dianggap masyarakat, sebagai calon pemilih mereka.
Perikali ini, sekali lagi, sama seperti perilaku kucing yang suka kencing di sembarang tempat. Namun tak dianggap pihak yang akan dia mangsa. (Mase Adi Wibowo)