Latest News

Kesenian Barongan, Hiburan Tradisional Masyarakat Kudus

SEPUTAR KUDUS - Kelompok kesenian barongan di Desa Berugenjang, Kecamatan Undaan, Kudus, menghibur warga.
SEPUTAR KUDUS - Malam itu, suasana di Desa Berugenjang begitu meriah karena ada salah satu warga yang mengkhitankan anaknya dan dimeriahkan dengan kehadiran kesenian daerah, Barongan. Di desa yang masih terhitung sedikit penduduknya, menjadikan malam yang sehari-harinya sepi menjadi sangat ramai. Dari orang tua, muda, kecil, besar, laki-laki, perempuan, semua tumplek-blek jadi satu karena memang desa yang terletak di ujung selatan kabupaten Kudus itu minim ruang publik yang bisa dijadikan sarana hiburan.

Kesenian Barongan adalah salah satu kesenian rakyat yang dimiliki Desa Berugenjang, selain rebana dan orkes dangdut. Kesenian Barongan tersebut adalah warisan leluhur terdahulu desa tersebut yang sering memeriahkan acara-acara pemerintah desa, ritual-ritual desa dan sarana hiburan penduduk yang punya gawe dari dulu hingga sekarang. Kesenian yang dipimpin oleh Tugiyono tersebut juga sering diundang di acara-acarangantenan dan sunatan di luar desa, bahkan luar kabupaten. Beliau mengungkapkan keseniannya tersebut pernah diundang di Karanganyar, Demak bahkan samapi ke Pati.

Untuk menjaga dan nguri-uri kesenian tersebut, Tugiyono juga mengungkapkan bahwa dia bersama dengan enam belas anggotanya selalu meluangkan waktu untuk berlatih setiap seminggu sekali. "Ketika latihan masyarakat juga banyak yang menonton, karena suara gong dan terompet barongan kami sangat keras sehingga banyak masyarakat yang tau kalau kami sedang latihan," ungkapnya dengan tawa lepas.

Ketika ditanya berapa biaya yang harus disiapkan untuk mengundang keseniannya, Tugiyono menjawab enteng saja, "Ah, kalau cuma biaya ga usah dipikir mas. Yang penting kita bisa membuat orang bergembira dan menikmati suguhan kami juga sudah Alhamdulillah," ungakapnya. Memang, kesenian rakyat seperti itu tak pilih-pilih panggung untuk menunjukkan aksinya. Karena bagi mereka berkesenian adalah panggilan hati untuk meneruskan budaya peninggalan leluhur.

Jika dibandingkan dengan seniman-seniman kaliber regional, mereka memang tak ada apa-apanya. Mereka belum mengerti tentang tolok ukur harga sebuah karya, karena memang tidak ada toko yang menjual alat itu. Apalagi tentang kesenian yang mempunyai nilai tawar personal, mereka memang tidak tahu. Bahkan, mereka tidak merasa bahwa kesenian mereka diberi label tradisional. Mereka mungkin hanya paham bahwa mereka berkesenian untuk meneruskan budaya leluhur.

Namun, mereka mungkin akan lebih terheran-heran lagi jika mereka yang akan menjadi Bupati melalui label kesenian tidak tahu bagai mana cara mempertahankan kesenian dengan tanpa pamrih apapun, kecuali untuk mempertahankan budaya dari leluhur dan membuat masyarakat merasa terhibur. (suwoko)