Anggota MRC Indonesia di Puncak 28 pada 2010, saat persiapan riset bencana guna melihat kondisi Pegunungan Muria. Foto: Dokumentasi MRC Indonesia. |
Menurut Direktur MRC Indonesia, Mochamad Wijanarko, MRC Indonesia yang berdiri sejak tahun 2008 tersebut memang konsen terhadap perkembangan lingkungan dan sosial di kawasan Pegunungan Muria, dalam visinya organisasi yang berbasis komunitas tersebut mengusung kritik, kepekaan terhadap persoalan masyarakat dan mendorongnya dalam sebuah kemandirian. Organisasi lingkungan yang beralamat di Jalan Mlati Norowito Gang 3, Nomor 3, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus tersebut, juga ingin menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan.
Menurut Wijanarko kegiatan Jelajah Muria tersebut akan mengarungi 12 gunung yang ada di kawasan Muria, di antaranya Argo Piloso, Argo Jembangan, Gunung Ringgit, Gunung Kelir, Gunung Sari, Watupayon, Termulus, Paluombo, Candi Angin Lor, Candi Angin Kidul, Saptorenggo dan Gajahmungkur. Kegiatan yang dimulai 5 Juni hingga 1 Agustus mendatang dengan melibatkan Tim Bio Fisik dan Tim Bio Sosial. "Dalam jelajah Muria kali ini kami tidak hanya mengobservasi keaneka ragaman hayati yang ada di kawasan Muria, namun juga melakukan dokumentasi sosial terhadap masyarakat yang tinggal di sana," papar Wijanarko yang juga berprofesi sebagai dosen pengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Muria Kudus (UMK) tersebut.
Ia menambahkan Pengumpulan data dalam jelajah Muria tim akan bergerak dari daerah satu ke daerah lainnya dengan durasi waktu tiga hari, hal tersebut akan diimulai dari Kabupaten Pati, kemudian Jepara dan Kudus. "Dalam melakukan penjelajahan tim akan melakukan live in atau tinggal bersama warga setempat, disana tim melakuak observasi, wawancara dan membawa beberapa pertanyaan dalam angket, serta melakukanobservasi burung dan iventarisasi jenis tumbuhan," paparnya. Menurutnya semua data yang terkumpul akan dilakukan editing, coding yang disesuaikan dengan jenis datanya. Data wawancara akan ditranskrip dalam bentuk narasi sehingga bisa menghasilkan data utuh dalam bentuk cerita. Semua proses analisis akan dilakukan setelah melakuakn penjelajahan dan dilakuakn oleh tim analisis data secara menyeluruh.
Wijanarko menjelaskan Pegunungan Muria memiliki ketinggian 1602 meter dari permukaan laut, di dalamnya terdapat hutan tropis seluas 69.812,08 hektar, terdiri dari wilayah Kabupaten Jepara 20.096, 51 hektar, wilayah Kabupaten Pati 47.338 hektar dan 2.377,57 hektar berada dalam wilayah Kabupaten Kudus. Ia menambahkan berdasarkan catatan Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pati kawasan tersebut menyimpan kekayaan hayati sekitar 80 jenis pohon yang terdiri dari palem-paleman dan rumput-rumputan. Sedangkan kekayaan fauna, di sana dapat dijumpai paling tidak lima jenis ular senduk (Kobra Jawa), sanca hijau, kera, landak, tupai, trenggiling, bahkan babi hutan.
Berdasarkan Studi lapangan yang telah dilakukan Puslitbang MRC Indonesia di kawasan Pegunungan Muria dengan menjelajahi daerah Semliro, Puncak Songolikur, Tempur, Nduplak, Gunung Rowo, Colo, Air Tiga Raksa & Semliro yang meliputi Kabupaten Kudus, Pati dan Jepara, telah berhasil mengidentifikasi adanya 68 jenis burung yang salah satu diantaranya adalah Elang Jawa (Spizaetus Bartelsi) yang kita kenal sebagai burung Garuda, yang menjadi burung endemik Jawa dan dilindungi serta dalam keadaan bahaya kepunahan (endangered). Selain itu, tim peneliti juga berhasil menginventarisasi adanya 109 jenis tumbuhan yang tergolong dalam 51 famili, yang jenisnya meliputi rumput, anggrek dan pohon khas Muria: mranak, jenis buah-buahan seperti mangga, durian, jambu monyet, sirsat, pepaya, rambutan, dan tanaman khas Kudus, parijotho.
Berbagai kekayaan jenis satwa dan tumbuhan menurut Wijanarko merupakan aset, khususnya bagi masyarakat lokal yang ada di kawasan tersebut dan itu merupakan amunisi masyarakat lokal untuk dapat berperan aktif dalam upaya melestarikan keanekaragaman hayati. (Suwoko)