Diana sedang memanen cabai sambil melakukan perawatan tanaman bumbu dapur di sawah miliknya. Foto: Ahmad Rosyidi |
Diana, begitu dia akrab disapa, sudi berbagi cerita kepada Seputarkudus.com, sambil mengunduh cabai yang mulai memerah dirinya mengikat pohon cabai yang sudah banyak buahnya agar tidak roboh saat terkena hujan dan angin. Selain diikat ke bambu yang ditancapkan di samping pohon, dia juga mengambil cabai yang terkena hama jamur agar tidak menular ke cabai yang lain.
Dia menggunakan tali rafia untuk mengikat pohon dan kantong plastik untuk mengumpulkan cabai yang terkena jamur. Untuk cabai yang sudah memerah siap panen dan tidak terkena jamur dia taruh di ember. Saat ini Diana hanya dibantu oleh satu orang, kemungkinan tiga hari kedepan dia membutuhkan beberapa orang lagi karena lebih banyak cabai yang sudah siap dipanen.
Baca juga: Setelah Molor Dua Bulan Karena Cuaca Tak Menentu, Ruslan Lega Akhirnya Bisa Memanen Cabai yang Ditanam
“Ini saya baru dua orang, mungkin tiga hari ke depan saya butuh beberapa orang lagi untuk membantu memanen. Kalau sudah mulai bisa dipanen seperti ini akan terus bertambah setiap hari,” ujar ibu dua anak itu.
Diana juga mengungkapkan, suaminyalah yang pertama mengawali menanam cabai di Desanya, Kutuk, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus pada 1993 sebelum menikah dengannya. Waktu itu suaminya tidak hanya menanam cabai, namun juga bawang merah, semangka dan melon. Dari hasil panen Diana mengaku bisa membeli kendaraan baru waktu itu, dan beberapa petani di Desa Kutuk belajar pada suaminya.
Namun, usaha suaminya pernah bangkrut karena ditipu oleh temannya. “Awalnya ada teman yang mau mencalonkan diri menjadi perangkat desa, dan minta dimodali dengan perjanjian separuh tanah bengkoknya untuk dikelola suami saya. Kami menjual sawah, motor, dan tabungan, semua senilai Rp 270 juta. Ternyata malah tidak sesuai perjanjian dan sawah bengkoknya disewakan ke orang lain,” ungkapnya sambil memetik cabai.
Meski begitu dia tetap bersyukur karena suaminya masih bisa menyewa tanah bengkok di Desa Loram Wetan saat ini. Untuk menyewa tanah bengkok seluas 1,5 hektare suaminya dibantu oleh temannya yang asli warga Loram Wetan. Meski sekarang mengelola sawah yang jauh dari rumahnya, dia mengaku tetap bersyukur masih bisa bertani lagi.
“Saya berangkat dari rumah sekitar pukul 4.30 WIB dan pulang pukul 15.30 WIB. Saya berangkat lebih pagi karena perjalanan dari Desa Kutuk hingga Loram Wetan membutuhkan waktu sekitar satu jam. Meski begitu saya tetap bersyukur masih bisa bertani lagi,” pungkasnya.