Sugito sedang menata barang kerajinan yang dijualnya di lapak tepi jalan menuju Makam Sunan Muria, Kudus. Foto: Ahmad Rosyidi |
Saat menuggu pembeli datang, Sutigo sudi berbagi kisah kepada Seputarkudus.com. Dia mengatakan, dirinya belum bisa mengejar keinginannya untuk hidup yang lebih baik. Meski demikian dia merasa lebih menikmati pekerjaannya saat ini jika dibanding pekerjaan sebelumnya merantau ke Jakarta dan jauh dari keluarga.
“Hasil dari menjual kerajinan seperti ini cuma cukup untuk menghidupi keluarga, tapi saya merasa bersyukur. Saya lebih menikmati pekerjaan saat ini dibanding merantau seperti dulu,” ungkap pria dua anak itu.
Meski sering sepi, Sutigo merasa bersyukur karena lapak yang di depan rumahnya tidak perlu membayar sewa. Dia juga bisa ke rumah dan bertemu keluarga kapanpun dia mau. Hal itu sangat berbeda dengan sembilan tahun lalu saat masih merantau.
Sambil membersihkan dan merapikan dagangannya, dia merinci harga produk yang dia jual. Untuk jam dinding dia jual seharga Rp 175 ribu hingga Rp 190 ribu, tempat minum air mineral gelas Rp 180 ribu, tempat tisu Rp 90 ribu, kotak amal Rp 115 ribu, rekal Rp 85 ribu, tempat HP Rp 65 ribu, guci Rp 260 ribu hingga Rp 600 ribu, lampu kamar Rp 130 ribu, lampu ruang makan Rp 150 ribu.
“Hiasan lafadz sepasang Rp 250 ribu, herley Rp 145 ribu, andong Rp 160 ribu, vespa Rp 65 ribu, nampan Rp 70 ribu hingga 100 ribu, asbak Rp 20 ribu hingga 70 ribu, lumpang Rp 40 ribu, dan untuk pijat Rp 35 ribu. Semua terbuat dari kayu jati, kecuali asbak yang paling murah, lumpang, tongkat dan untuk pijat, terbuat dari kayu mahoni, jadi harganya lebih murah,” jelasnya.
Sutigo membuka lapaknya mulai pukul 05.00 WIB hingga pukul 20.00 WIB. Dia membukanya setiap hari kecuali ada halangan yang mengharuskan dia tutup. Barang dagangan Sutigo diambil dari Bojonegoro, Jawa Timur. Setiap sebulan sekali dirinya didatangi sales. Kecuali saat ramai seperti bulan Syura dan Maulud dia bisa menghubungi sales untuk datang dua kali dalam satu bulan.