Kelenteng Hok Tio Bio di Desa Tanjung Karang, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus. |
Oleh:
Edy Supratno, peminat bidang sejarah.
Pada 21 Juli 1947 pasukan Belanda membombardir Kudus melalui udara. Yang menjadi sasaran antara lain pabrik Muria Textil, rumah paseban kabupaten, dan Stasiun Wergu. Di stasiun yang sekarang dimanfaatkan menjadi pasar itu terdapat bekas tembakan senapan mesin. Jauh sebelum peristiwa tersebut, di Kudus pernah terjadi perlawanan terhadap Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang juga disebut kompeni.
Sejarah perlawanan terhadap VOC itu terkait erat dengan peristiwa pengepungan orang-orang China terhadap Batavia. Hal ini membuat Gubernur Jenderal Andriaan Valckenier panik dan membantai ribuan orang China dalam kota pada 9-10 Oktober 1740. Kondisi ini memaksa orang-orang China yang lolos dari maut mencari selamat dengan melarikan diri ke Jawa. Antara lain ke Semarang, Juwana, Lasem, Rembang, Kudus, dan sekitarnya dengan menggunakan kapal.
Pelarian yang ke Kudus menyusuri sungai melewati Tanggulangin dan berhenti di sebuah tempat yang bernama Bogo, Desa Tanjung. Di tempat ini kemudian mereka bermukim dan mendirikan sebuah tempat ibadah (kelenteng) sekaligus yang berfungsi sebagai ‘benteng’. Lokasinya berada di tepi sungai yang memudahkan akses transportasi perahu menuju ke Semarang melalui Welahan dan menuju ke Juwana dengan menyusuri Sungai Juwana.
Pembantaian di Batavia menyulut pemberontakan oleh orang-orang China di berbagai tempat. Mereka sangat dendam karena banyak orang yang tak berdosa menjadi korban. Que Panjang adalah salah satu pimpinan orang China yang cukup disegani.
Pada tanggal 30 Januari 1741 tiga orang China dari Batavia dan Semarang datang ke Bogo, Tanjung, Kudus. Kedatangan itu disambut 37 orang China yang sudah siap perang. Mereka merencanakan sesuatu untuk melakukan pembalasan.
Pertemuan ini bocor dan diketahui Letnan Semarang Que Yonko dan melaporkannya kepada Bartholomeus Visscher, penguasa VOC wilayah Timur Laut Jawa di Semarang. Laporan itu ditanggapi dingin oleh Visscher karena dia menganggap para pelarian China sudah tidak membahayakan. Apalagi sebelumnya, saat mengetahui di Batavia ada pemberontakan, Letnan Que Yonko dan Kapten Que Anko meyakinkan Visscher bahwa China di Semarang dan sekitarnya tidak seperti di Batavia.
Di luar dugaan Visscher, 1 Februari 1741 pagi, 37 orang yang sudah siap perang dengan senjata pedang, tombak, garpu, dan bedil itu menyerang rumah Kopral Claas Lutten di Pati. Tentara kompeni itu mati mengenaskan dan hartanya dijarah habis-habisan. Aksi ini dibalas oleh orang-orang bawahan Bupati Kudus Arya Jayasentika dengan cara mengejarnya setelah diberitahu oleh kompeni. Tapi orang-orang China lebih cepat melarikan diri melalui sungai. Sampai di Semarang kepala Lutten ditancapkan di sebuah tonggak. Peristiwa ini kemudian memicu kericuhan di Jawa (Willem G.J. Remmelink: 2002).
Kelompok China terus melakukan konsolidasi di Tanjung. Pada bulan April 1741 mereka melakukan perebutan sejumlah pabrik gula. Orang-orang China yang berada di pabrik itu diminta mengikuti aksinya, jika menolak maka akan dihukum. Selanjutnya, pada 23 Mei 1741 orang-orang China merebut Juwana dan membunuh dengan sadis sembilan orang yang tertangkap. Residennya selamat. Pada 27 Juli residen Rembang berhasil dibunuh dan Rembang dapat dikuasai.
Mengetahui aksi yang semakin membahayakan Visscher sampai stres dalam menghadapinya. Dia pun meminta bantuan kepada empat bupati, Kudus, Pati, Jepara, dan Cengkalsewu yang kemudian terkumpul 540 orang untuk menyerbu Tanjung. Tapi serangan itu setengah hati sehingga kelompok China di Tanjung tetap kuat. Visscher kemudian memaksa Mataram untuk mengerahkan kekuatannya membantu kompeni. Belanda merasa punya hak meminta bantuan karena sudah berjasa mendudukkan Prabayasa menjadi penguasa Mataram dengan gelar Sunan Pakubuwana Senapati Ingalaga Ngabdurrachman Sayyidin Panatagama.
Eksistensi gerombolan China di Tanjung baru bisa dipadamkan tahun berikutnya oleh Kapten Gerrit Mom yang didatangkan dari Sulawesi. Pada 24 Oktober 1742 pemimpin China yang ada di Tanjung, Sutawangsa berhasil dibunuh dan 28 Oktober Kudus dikuasai tanpa pertempuran.
Bogo kini
Bogo dan kelentengnya masuk dalam wilayah Desa Tanjungkarang, Kecamatan Jati. Bersamaan dengan pembangunan jalan Kudus-Grobogan pada 1782 oleh Belanda, kelenteng itu dipindah persis di pinggir jalan atau sekitar 500 meter di utara lokasi semula. Karena itu kelentengnya diberi nama Hok Tio Bio Tanjungkarang.
Bagaimanakah kondisi Bogo kini? Bogo sekarang tak lebih sekadar sawah biasa. Walau pernah dikeruk, sungai yang dulu menjadi jantungnya tranportasi itu mengalami pendangkalan. Enceng gondok menutupi semua permukaannya. Lebarnya pun tak lebih dari lima meter. Bahkan masyarakat setempat sudah menyebutnya sebagai kali mati. (*)
Sumber: Koran Muria